Ketika Hukum Kendur dan Alam Menegur

 


Oleh : Mevrizal, SH, MH

Sekretaris PERADI Padang

Mahasiswa Doktor Hukum Islam UIN Imam Bonjol


Hampir seminggu di akhir November, hujan tak kunjung reda, Banjir yang melanda Sumatera Barat, menjadi alarm untuk kita semua. Ini adalah pesan keras yang datang dari alam untuk menegur kita dengan air yang melampaui batas dan tanah yang runtuh tanpa peringatan.


Kita boleh menyebutnya musibah alam, tetapi jika kita mau jujur, bencana ini lahir dari rangkaian tindakan manusia yang sejak lama dibiarkan tanpa perbaikan. Aturan yang lentur, izin yang mudah keluar, kawasan hulu yang dibuka tanpa kehati-hatian, sungai yang perlahan dipersempit, dan pengawasan yang semakin melemah. Semua itu membuat hujan yang dulu hanya membasahi bumi, kini berubah menjadi banjir yang merenggut keselamatan.


Padang TV melalui Program Advokat Sumbar Bicara (ASB), telah berkali-kali mengingatkan tentang maraknya illegal logging dan illegal mining serta dampak destruktifnya. Aktivitas penebangan hutan, pengerukan bukit, dan perusakan daerah aliran sungai tanpa izin, melanggar hukum pertambangan, lingkungan hidup, kehutanan, penataan ruang dan lain sebagainya.


Namun, ketika penegakan hukum melemah, pengawasan tidak konsisten, dan praktik melanggar hukum dibiarkan berjalan bertahun-tahun, maka yang terjadi adalah apa yang kita saksikan hari ini, Alam kehilangan keseimbangan, dan masyarakat menanggung akibatnya.


Dalam perspektif hukum lingkungan, peristiwa seperti ini sulit disebut sebagai force majeure murni. Ada jejak kelalaian struktural yang tidak bisa disangkal. Hukum yang mestinya menjadi pagar pelindung justru sering kali berubah menjadi celah. Ketika penegakan hukum kalah oleh kepentingan, ketika tata ruang dikesampingkan, dan ketika daya dukung alam tidak lagi dihitung, maka bencana hanyalah soal waktu. Di titik inilah, alam menegur dengan caranya  yang kita sebut bencana alam.


Sebagai masyarakat yang beriman, teguran ini seharusnya mengetuk hati kita lebih dalam. Al-Qur’an sudah mengingatkan, _“Telah tampak kerusakan di darat dan laut akibat ulah tangan manusia.”_ (QS. Ar-Rum: 41). Ayat yang turun berabad-abad lalu itu terasa sangat dekat hari ini. Kerusakan bukan hanya runtuhnya tanah dan meluapnya sungai, tetapi hilangnya amanah yang seharusnya kita jaga.


Dalam Islam, bumi adalah titipan, bukan milik mutlak. Pengelolaannya bukan sekadar urusan administratif, tetapi ibadah sosial. Prinsip amanah menuntut agar setiap keputusan, baik oleh pejabat publik, pelaku usaha, maupun masyarakat tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada manfaatnya. 


Dalam kerangka maqashid syariah, menjaga jiwa (_hifz an-nafs_) dan menjaga masa depan generasi (_hifz an-nasl_) adalah tujuan hukum yang tidak boleh dikorbankan demi keuntungan sesaat. Karena itu, membuka hulu tanpa kendali, mengubah ruang resapan menjadi bangunan, atau membiarkan pelanggaran lingkungan tanpa sanksi bukan hanya pelanggaran hukum negara. Itu juga pelanggaran terhadap nilai agama yang memerintahkan kita untuk menegakkan keadilan dan menjaga kehidupan.


Namun, di tengah duka ini, kita tetap melihat secercah cahaya dari masyarakat. Surau dan masjid serta kantor-kantor pemerintah (Pemko Padang) dibuka untuk pengungsi, warga saling membantu tanpa diminta, dan relawan bergerak tanpa pamrih. Nilai gotong-royong ini adalah anugerah yang membuat Sumbar selalu kuat dalam setiap krisis. Tapi solidaritas, betapa pun mulianya, tidak dapat menggantikan kewajiban pemerintah untuk menegakkan hukum dan memperbaiki tata kelola untuk kemaslahatan bersama.


Teguran alam kali ini seharusnya menjadi titik balik. Kawasan lindung perlu dipulihkan fungsinya. Sungai harus diberi ruang sesuai fungsinya, Perizinan harus ketat, transparan, dan diawasi dengan sungguh-sungguh. Dan setiap kebijakan ruang harus bertanya satu hal sebelum diputuskan, apakah ini menjaga kehidupan atau justru mengancamnya?


Alam telah menegur dengan kejujuran yang tidak bisa kita tolak. Sebelum teguran ini berubah menjadi peringatan yang lebih berat, sudah saatnya kita merespons dengan tindakan nyata dengan hukum yang ditegakkan, kebijakan yang dibenahi, dan iman yang diwujudkan dalam menjaga bumi yang dititipkan kepada kita.


Alam tidak akan pernah bosan bersahabat dengan kita, yaitu manusia yang mencintai alam semesta.

Posting Komentar

0 Komentar