Oleh: Dr. H. Febby Dt. Bangso SSt.Par., M.Par., QRGP, CFA
Siklon yang mengguncang pesisir Sumatera Barat beberapa waktu terakhir bukan sekadar fenomena cuaca ekstrem. Ia adalah alarm keras yang mengetuk telinga semua pemangku kebijakan pariwisata. Badai mengingatkan: pariwisata Sumbar rapuh, rentan, dan belum memiliki sistem ketahanan yang memadai. Selama ini kita terlalu sibuk mengejar angka kunjungan, tetapi lupa membangun pondasi yang kokoh.
Kerentanan itu tampak jelas—ketika gelombang tinggi memutus akses, menutup destinasi, merusak fasilitas, dan mengguncang ekonomi masyarakat yang bergantung pada pariwisata. Jika satu badai saja mampu meluluhlantakkan stabilitas, bagaimana jika ancaman iklim ekstrem semakin rutin?
Pertanyaannya sederhana dan menohok: Apakah kita masih mau membangun pariwisata di atas pasir yang mudah runtuh?
Saatnya Mengubah Arah Kebijakan Pariwisata Sumbar
Pariwisata tidak lagi cukup hanya dilihat sebagai bisnis promosi dan acara seremonial. Kita memasuki era baru: era ketahanan pariwisata (tourism resilience) yang menuntut perencanaan berbasis risiko, ilmu pengetahuan, dan penguatan akar sosial budaya nagari.
Transformasi kebijakan pariwisata Sumbar harus segera diarahkan pada enam agenda besar berikut:
1. Green Tourism
Pariwisata harus mulai berorientasi pada keberlanjutan lingkungan.
Konservasi, pengelolaan risiko bencana, edukasi mitigasi, dan destinasi hijau harus menjadi prioritas.
Ini bukan pilihan—ini hukum alam.
2. Blue Economy
Pesisir tidak hanya destinasi foto, tetapi sumber penghidupan.
Pendekatan ekonomi biru berbasis nelayan, ekowisata bahari, dan konservasi laut harus menjadi strategi utama penyelamatan ekonomi masyarakat pantai.
3. Pemberdayaan Masyarakat Lokal
Masyarakat bukan penonton, tetapi pemilik dan pemain utama.
Ketahanan pariwisata berawal dari kemandirian ekonomi, pelatihan keterampilan, dan model bisnis berbasis komunitas nagari.
4. Penguatan Adat dan Budaya
Nagari adalah benteng identitas dan modal sosial kita.
Tambo, limbago, gala adat, rumah gadang, randai, saluang, silek—semua ini bukan sekadar tontonan, tetapi tiang utama ketahanan ekonomi dan karakter.
5. Experience-Based Tourism
Wisatawan kini datang bukan untuk melihat, tetapi untuk mengalami.
Interaksi budaya akan menjadi masa depan pariwisata Sumbar.
6. Gastronomy Class
Rendang, samba lado mudo, lamang tapai, kalio itiak lado hijau, teh talua—
warisan kuliner adalah kekuatan ekonomi yang luar biasa.
Saatnya menghadirkan kelas memasak, riset kuliner, sertifikasi chef nagari, dan diplomasi gastronomi dunia.
Kesimpulan: Nagari Adalah Kunci Ketahanan Pariwisata
Siklon telah mengajari kita satu pelajaran mahal: ketahanan pariwisata bukan dibangun dari hotel megah atau event besar, tetapi dari: kesadaran ekologis, kekuatan komunitas, kearifan adat dan ekonomi lokal yang tangguh.
Tanpa perubahan paradigma, pariwisata Sumbar tinggal menunggu waktu untuk tumbang.
Sebaliknya, bila keberlanjutan dan ketahanan menjadi poros, Sumbar akan menjadi contoh terbaik Indonesia.
Badai memang mengguncang, tetapi ia juga membuka jalan untuk bangkit lebih kuat.
> Mari ubah arah kebijakan pariwisata Sumbar — dari rapuh menjadi tangguh, dari seremonial menjadi substansial, dari jangka pendek menjadi berkelanjutan. (**)

0 Komentar